Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning – Bangunan Bersejarah di Desa Minomartani

SLEMAN, SALAMGOWES Berangkat dari rumah selepas Ashar, saya mengayuh sepeda secara perlahan menikmati suasana di sore hari. Jalanan sudah dipenuhi kendaraan bermotor, aktifitas pulang dari sekolah, dan perkerjaan banyak saya temui di rute perjalanan yang dilalui.

Kayuhan demi kayuhan akhirnya mengantarkan saya di ruas Jalan Plosokuning Raya, tidak jauh dari pandangan mata saya terdapat pagar berwarna putih khas bangunan kraton tertempel tulisan Masjid Jami’ Sulthoni Plosokuning. Saya kemudian berhenti sebentar memarkir sepeda menyandarkannya di tembok tersebut sembari mengabadikan melalui kamera saya.

Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning berdiri di atas Sultan’s Grounds seluas 2.500 m2, luas bangunan 288 m2, dan setelah pengembangan bertambah menjadi 328 m2. Di kompleks masjid terdapat makam imam pertama, yakni Kyai Mustafa.

Sejarah Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning
Masjid ini mulai dibangun di era Sri Sultan Hamengkubuwono III (1812-1814), ketika Kyai Raden Mustafa (Hanafi I) menjadi Abdi Dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang berkedudukan di Plosokuning. Pemberian nama Plosokuning untuk masjid ini diambil dari nama pohon Ploso yang memiliki daun berwarna kuning yang dulunya pohon ini letaknya kurang lebih 300 meter sebelah timur masjid, namun sekarang sudah tidak ada lagi.

Tidak berbeda dengan masjid pathok negara yang lain, di masjid ini ditempatkan abdi dalem kraton yang di tunjuk sebagai takmir masjid. Abdi dalem yang ditunjuk ini menjalankan fungsinya sesuai jabatan funsionalnya yakni, Khotib, Muadzin, Jajar Jama’ah, Jajar Ulu-ulu (penghulu) dan Jajar Merbot, kesemuanya di emban oleh abdi dalem kemasjidan dengan gelar Raden.

Pathok Negara adalah salah satu jabatan dalam struktur pemerintahan di lingkungan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yakni anggota penghulu pada peradilan Surambi. Abdi dalem yang ditunjuk sebagai Pathok Negara menempati tanah di desa perdikan (bebas dari pajak), dan dibangungkan sebuah masjid untuk dipimpinnya. Seiring perkembangan zaman, pejabat Pathok Negara sekaligus menjadi imam jamaah masjid tersebut.

Satu tradisi yang masih dipertahankan hingga sekarang ini, yaitu penduduk yang tinggal di sekitar masjid hanya boleh ditempati penduduk yang memiliki garis keturunan dari Kyai Mursodo. Tradisi ini menjadi asal muasal daerah yang dekat dengan masjid disebut Mutihan (sebagai tempat tinggal santri) atau Plosokuning nJero, sedangkan daerah yang jauh dari masjid disebut Plosokuning nJobo.

Rancang Bangun Masjid
Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning memiliki kemiripan dengan masjid agung Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal ini sengaja dilakukan untuk meraih kepercayaan masyarakat sekitar, dan satu usaha legitimasi masjid milik Kasultanan Yogyakarta. Selain itu, ada beberapa kemiripan di komponen-komponen masjid, yakni mihrob, kentongan dan beduk.

Memasuki komplek Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning, kita bisa melihat dua kolam dengan kedalaman tiga meter yang berada di depan masjid tersebut. Keberadaan kolam tersebut sebagai simbol bahwa masjid sebagai tempat menuntut ilmu harus secara mendalam dan kebersihan hati serta pikiran memudahkan ilmu untuk diserap.

Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning memiliki ciri khas yaitu mempunya atap tajuk bertumpang dua pada bagian utama bangunan masjid. Tumpang atap berjumlah dua ini menandakan kedudukan masjid pathok negoro kedudukannya lebih rendah dibandingkan dengan Masjid Agung Yogyakarta yang mempunya atap tajuk bertumpang tiga.

Dari kelima masjid pathok negara yang dimiliki Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, masjid ini yang paling terjaga kelestariannya. Walau terdapat beberapa perubahan yang terjadi di masjid ini akibat dari masuknya arsitektur modern di Indonesia.

Kemiripan masjid ini dengan masjid agung Yogyakarta terdapat kolam yang mengelilingi bangunan masjid, mimbar di dalam masjid, dan terdapat pohon sawo kecik. Selain itu, pada bagian atap Masjid Pathok Negoro Plosokuning masih terjaga keasliannya, hal ini bisa dilihat mahkota gada bersulur yang terbuat dari tanah liat, dan masih terpasang sampai sekarang.

Dua pintu gerbang masjid yang masih terjaga kelestariannya serta pohon sawo kecik yang menjadi salah satu ciri tanaman yang berada di lingkungan masjid Pathok Negara.

Renovasi Masjid
Pemugaran pertama kali dilakukan setelah paska kemerdekaan, yakni pada tahun 1946, atap masjid yang dulunya menggunakan sirap kemudian di ganti dengan genteng. Renovasi kedua tahun 1976, bagian lantai masjid dahulu plester biasa dengan menggunakan semen merah, kemudian lantai masjid ini diganti dengan tegel biasa.

Memasuki tahun 1984, pintu masuk ditambah menjadi tiga bagian, kemudian ditambahkan jendela di ruang utama masjid. Begitu juga dengan temboknya dilakukan penggantian pada tahun 1984. Dulu tembok dinding masjid setebal 2 batu, namun karena terkikis terus menerus sekarang tinggal 1 batu.

Pada tahun 2000, Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning mengalami renovasi pada empat tiang peyangga utama, dan beberapa elemen lainnya. Setahun kemudian, masjid ini kembali mengalami renovasi pada bagian serambi, dan tempat wudhu oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DIY.

Tradisi Masjid
Memasuki ruang utama masjid, terdapat mimbar yang berusia tua yang terbuat dari kayu jati dengan hiasan ornamen pada pegangan mimbar. Di mimbar ini terdapat sebuah tongkat yang dipakai oleh khatib ketika memberikan khotbah yang sampai sekarang masih digunakan. Masjid ini masih melakukan adzan dua kali pada saat sholat Jum’at.

Dahulu tahun 1950, adzan pertama dilafalkan oleh lima orang muadzin sekaligus, dan adzan kedua dilakukan salah satu dari mereka. Pada tahun 1960, hal tersebut mengalami perubahan, muadzin yang semula berjumlah lima orang menjadi dua orang, tetapi adzan tetap dilakukan dua kali.

Perubahan tradisi di masjid ini juga terjadi pada bahasa yang dipakai ketika khatib menyampaikan tausiah atau nasehat. Khotbah dilakukan dengan menggunakan bahasa Arab, kemudian diganti menggunakan bahasa Jawa pada tahun 1960. (aanardian/salamgowes)

 

Tinggalkan komentar