SLEMAN, SALAMGOWES – Berangkat dari rumah selepas Ashar, saya mengayuh sepeda secara perlahan menikmati suasana di sore hari. Jalanan sudah dipenuhi kendaraan bermotor, aktifitas pulang dari sekolah, dan perkerjaan banyak saya temui di rute perjalanan yang dilalui.
Kayuhan demi kayuhan akhirnya mengantarkan saya di ruas Jalan Plosokuning Raya, tidak jauh dari pandangan mata saya terdapat pagar berwarna putih khas bangunan kraton tertempel tulisan Masjid Jami’ Sulthoni Plosokuning. Saya kemudian berhenti sebentar memarkir sepeda menyandarkannya di tembok tersebut sembari mengabadikan melalui kamera saya.
Sejarah Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning
Masjid ini mulai dibangun di era Sri Sultan Hamengkubuwono III (1812-1814), ketika Kyai Raden Mustafa (Hanafi I) menjadi Abdi Dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang berkedudukan di Plosokuning. Pemberian nama Plosokuning untuk masjid ini diambil dari nama pohon Ploso yang memiliki daun berwarna kuning yang dulunya pohon ini letaknya kurang lebih 300 meter sebelah timur masjid, namun sekarang sudah tidak ada lagi.
Tidak berbeda dengan masjid pathok negara yang lain, di masjid ini ditempatkan abdi dalem kraton yang di tunjuk sebagai takmir masjid. Abdi dalem yang ditunjuk ini menjalankan fungsinya sesuai jabatan funsionalnya yakni, Khotib, Muadzin, Jajar Jama’ah, Jajar Ulu-ulu (penghulu) dan Jajar Merbot, kesemuanya di emban oleh abdi dalem kemasjidan dengan gelar Raden.
Pathok Negara adalah salah satu jabatan dalam struktur pemerintahan di lingkungan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yakni anggota penghulu pada peradilan Surambi. Abdi dalem yang ditunjuk sebagai Pathok Negara menempati tanah di desa perdikan (bebas dari pajak), dan dibangungkan sebuah masjid untuk dipimpinnya. Seiring perkembangan zaman, pejabat Pathok Negara sekaligus menjadi imam jamaah masjid tersebut.
Rancang Bangun Masjid
Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning memiliki kemiripan dengan masjid agung Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal ini sengaja dilakukan untuk meraih kepercayaan masyarakat sekitar, dan satu usaha legitimasi masjid milik Kasultanan Yogyakarta. Selain itu, ada beberapa kemiripan di komponen-komponen masjid, yakni mihrob, kentongan dan beduk.
Memasuki komplek Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning, kita bisa melihat dua kolam dengan kedalaman tiga meter yang berada di depan masjid tersebut. Keberadaan kolam tersebut sebagai simbol bahwa masjid sebagai tempat menuntut ilmu harus secara mendalam dan kebersihan hati serta pikiran memudahkan ilmu untuk diserap.
Dari kelima masjid pathok negara yang dimiliki Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, masjid ini yang paling terjaga kelestariannya. Walau terdapat beberapa perubahan yang terjadi di masjid ini akibat dari masuknya arsitektur modern di Indonesia.
Kemiripan masjid ini dengan masjid agung Yogyakarta terdapat kolam yang mengelilingi bangunan masjid, mimbar di dalam masjid, dan terdapat pohon sawo kecik. Selain itu, pada bagian atap Masjid Pathok Negoro Plosokuning masih terjaga keasliannya, hal ini bisa dilihat mahkota gada bersulur yang terbuat dari tanah liat, dan masih terpasang sampai sekarang.
Renovasi Masjid
Pemugaran pertama kali dilakukan setelah paska kemerdekaan, yakni pada tahun 1946, atap masjid yang dulunya menggunakan sirap kemudian di ganti dengan genteng. Renovasi kedua tahun 1976, bagian lantai masjid dahulu plester biasa dengan menggunakan semen merah, kemudian lantai masjid ini diganti dengan tegel biasa.
Memasuki tahun 1984, pintu masuk ditambah menjadi tiga bagian, kemudian ditambahkan jendela di ruang utama masjid. Begitu juga dengan temboknya dilakukan penggantian pada tahun 1984. Dulu tembok dinding masjid setebal 2 batu, namun karena terkikis terus menerus sekarang tinggal 1 batu.
Tradisi Masjid
Memasuki ruang utama masjid, terdapat mimbar yang berusia tua yang terbuat dari kayu jati dengan hiasan ornamen pada pegangan mimbar. Di mimbar ini terdapat sebuah tongkat yang dipakai oleh khatib ketika memberikan khotbah yang sampai sekarang masih digunakan. Masjid ini masih melakukan adzan dua kali pada saat sholat Jum’at.
Perubahan tradisi di masjid ini juga terjadi pada bahasa yang dipakai ketika khatib menyampaikan tausiah atau nasehat. Khotbah dilakukan dengan menggunakan bahasa Arab, kemudian diganti menggunakan bahasa Jawa pada tahun 1960. (aanardian/salamgowes)